Indonesia Menuju Lumbung Pangan Dunia 2045
Bangsa Indonesia melalui Kementerian Pertanian berupaya mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia alias world food storage pada 2045. Pada 100 tahun kemerdekaan itu Indonesia diharapkan mencapai puncak kejayaan di berbagai bidang---termasuk sektor pertanian---sehingga layak disebut era Indonesia Emas. Saat itu Indonesia dicanangkan telah berdaulat daging sapi, gula, bawang putih, kedelai, padi, bawang merah, dan cabai. "Itu harapan kita bersama sehingga Indonesia bukan lagi pengimpor pangan, tetapi pengekspor pangan," kata Direktur Institut Agroekologi Indonesia (INAgri), Syahroni, SP mengomentari target yang dicanangkan Kementerian Pertanian.
Tentu ambisi menjadi lumbung pangan dunia bukan mimpi di siang bolong. Menteri Pertanian, Amran Sulaeman, telah menetapkan tahapan untuk meraih cita-cita tersebut. Ia menetapkan pada 2019 Indonesia dapat mencukupi kebutuhan padi, bawang merah, dan cabai dari dalam negeri karena tingkat produksi telah melampaui tingkat konsumsi. Pada 2019 impor beras hanya sekadar untuk cadangan bila terjadi bencana alam atau kekeringan. Sebut saja untuk antisipasi gempa, tsunami, atau banjir yang kerap melanda belakangan ini. "Di beberapa daerah seperti Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan bahkan surplus beras," kata Amran.
Provinsi lain yang juga surplus beras adalah Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang surplus beras lebih dari 1,5 juta ton dengan masing-masing rinciannya sebesar 2,31 juta ton, 1,75 juta ton, dan 1,72 juta ton. Selain ketiga wilayah di atas Lampung, Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Barat juga merupakan wilayah surplus beras. "Prinsipnya memang ada provinsi yang surplus, sebaliknya ada yang defisit sehingga tidak boleh dipukul rata Indonesia selalu krisis pangan seperti banyak diungkap. Tugas pemerintah membantu menyalurkan beras dari daerah surplus ke daerah defisit yang sebetulnya telah dilakukan para pedagang melalui transportasi darat dan air," kata Amran.
Berikutnya secara bertahap Indonesia bertekad berswasembada gula konsumsi (2020), kedelai (2021), bawang putih (2023), gula industri (2024), dan daging sapi (2026) sehingga kelak pasca 2026 menjadi mandiri pangan. Berikutnya Indonesia pada 2045 mampu menjadi lumbung pangan dunia. Secara sederhana, menurut Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur Pertanian, Prof. Dr. Dedi Nursyamsi, predikat lumbung pangan dunia dapat dicapai setelah Indonesia melewati 3 tahap sebelumnya: swasembada pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan.
Tentu upaya mencapai cita-cita mulia itu butuh kerja keras segenap aparatur pemerintah dan rakyat. Menurut Dedi, upaya meraih cita-cita tersebut dapat dilakukan dengan 3 kunci utama yaitu infrastruktur, inovasi teknologi, dan sumberdaya manusia. Tujuannya agar produktifitas pertanian optimal dan efisien sehingga dapat bersaing di pasaran. "Hanya aktifitas pertanian yang produktif dan efisien yang dapat mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Saat itulah produk Indonesia dapat memasok ke luar negeri dengan harga bersaing," kata Dedi.
Produktifitas pertanian, menurut Dedi, dapat ditingkatkan dengan 5 faktor utama yaitu irigasi, varietas unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta pemberdayaan petani. "Dari 5 faktor tersebut untuk kasus Indonesia irigasi menjadi faktor yang menyumbangkan produktifitas hingga 40%," kata Dedi. Sementara pemupukan dan bibit unggul masing-masing menyumbangkan 20%. Sisanya pengendalian hama dan penyakit serta pemberdayaan petani masing-masing hanya 10%.
Irigasi dalam sektor pertanian tergolong infrastruktur pertanian karena melibatkan pembangunan water storage alias penampungan air yang besar seperti waduk dan embung dengan jaringan irigasi primer, tersier, dan sekunder yang berbiaya tinggi. "Begitu air tersedia, maka desa-desa yang memiliki lahan pertanian menjadi hidup, bahkan nyaris tanpa perlu bantuan pemerintah lagi," kata Dedi. Itu karena hampir di semua wilayah pertanian air menjadi faktor pembatas utama.
Tentu pembangunan infrastruktur irigasi tersebut tidak bisa dipenuhi bila hanya mengandalkan anggaran pemerintah melalui Kementerian Pertanian maupun pemda setempat. Namun, Menteri Pertanian, Amran Sulaeman, mengambil langkah cerdas dengan menggandeng Kemendes PDTT dan Kementerian PUPR. Semua insan pertanian mafhum sebelumnya tanggung jawab penyediaan irigasi hingga ke saluran sekunder merupakan wewenang Kementerian PUPR. Kementerian Pertanian hanya bertugas menyambungkan saluran tersier yang menghubungkannya ke sawah.
Kini Mentan 'menitipkan' dana irigasi untuk pertanian di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Maksudnya setiap desa yang mendapat dana desa Rp800-juta---Rp1-miliar wajib menganggarkan sebagian dananya untuk membuat embung. "Prinsipnya setiap desa yang memiliki lahan pertanian, harus anggarkan untuk embung. Biaya membuat embung lebih terjangkau dan dapat dibantu kegiatan swadaya masyarakat melalui gotong royong," kata Dedi. Dengan cara itu infrastruktur irigasi dapat dibangun secara masif di setiap desa. Itu bermakna pembangunan embung termasuk dalam RPJMN 2015-2019 Kemendes PDDT yang ditargetkan mengentaskan 5.000 desa tertinggal sampai dengan akhir tahun 2019.
Dengan kata lain, pemerintah saat ini berhasil mensinergiskan 3 kementerian sekaligus yaitu Kementan, Kemendes PDTT, dan Kementerian PUPR untuk menyediakan infrastruktur utama pertanian yaitu sumber air irigasi. Pada 4 tahun terakhir, sepanjang 2015---2018, pemerintah telah berhasil membangun 949 buah embung yang menjadi sumber air bagi masyarakat yang bergerak di bidang pertanian. "Ini terobosan yang dulu seringkali dianggap tidak mungkin," kata Syahroni, SP. Maklum, selama ini sinergi antar lembaga dan kementerian seringkali dianggap menjadi kendala program-program di Indonesia yang melibatkan lebih dari satu instansi.
Bahkan, menurut Syahroni, saat ini Kementerian Pertanian dianggap berhasil bersinergis dengan TNI, Polri, dan Bulog. "Sesuatu yang tidak mungkin, kini menjadi mungkin berkat konsep food security yang juga menjadi tanggung jawab TNI dan Polri karena food security adalah bagian dari national security," kata Syahroni. Para personil TNI dan Polri yang terkenal kedisiplinan dan loyalitas seolah menjadi 'trigger' untuk menularkan spirit tersebut sehingga terjadi akselerasi kinerja di berbagai lembaga birokrasi yang bertugas mengamankan pangan.
Tentu dampaknya adalah peningkatan kinerja di sektor pangan. Menurut Dedi, di saat neraca ekspor-impor Indonesia yang defisit, maka sektor pertanian selalu menyumbangkan angka positif sehingga meningkatkan kinerja perdagangan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) merekam bahwa ekspor Indonesia meningkat 29,7% menjadi Rp499,3-T pada 2018 dari senilai Rp384,9-T pada 2016. Meningkatnya ekspor pertanian Indonesia karena pemerintah melalui berbagai terobosan seperti deregulasi kebijakan perijinan; pengendalian impor dan mendorong ekspor; sistem layanan karantina jemput bola; pertanian modern untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing; serta kerjasama antar lembaga seperti dengan Kadin, HKTI, KTNA, universitas, eksportir, dan kontak bisnis.
Kinerja ekspor pertanian yang selalu positif itu tentu seiring dengan iklim investasi pertanian yang juga selalu membaik sejak 2013---2018. Catatan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mencatat investasi Indonesia pada 2018 meningkat 110,2% atau lebih dari 2 kali lipat menjadi Rp61,6-T pada 2018 dari hanya Rp29,3-T pada 2013. Investasi yang terus meningkat berkat deregulasi perijinan dan investasi yang dapat dilayani kurang dari 3 jam serta dibentuknya satgas kemudahan berusaha untuk percepatan investasi di sektor pertanian.
Sebaliknya inflasi pangan yang sering dituduh sebagai biang kerok naiknya inflasi harga, terbukti menurun sepanjang 2014---2017. Pada 2014 inflasi pangan mencapai 10,57% tetapi kemudian pada 2017 inflasi pangan hanya 1,26% sehingga merupakan pertama dalam sejarah penurunan inflasi mencapai 88,1%. Peningkatan inflasi dicegah melalui pembenahan rantai pasok dan distribusi pangan; penetapan HPP/HET di tingkat konsumen, membentuk satgas pangan yang melibatkan TNI dan Polri; gerakan serap gabah (Sergab) oleh Bulog dan TNI; serta memacu produksi pangan dalam negeri melalui revisi Perpres 72/2014, refocusing anggaran, bantuan benih, dan inovasi teknologi.
Menurut Syahroni, beragam sukses di bidang infrastruktur teknis pertanian itu juga harus dibarengi dengan 'infrastruktur langit' atau infrastruktur digital karena Indonesia mau tidak mau sudah berada di era industri 4.0. "Itu tak bisa dihindari karena menjadi lumbung pangan dunia bermakna setiap titik di seluruh dunia memiliki akses untuk memperoleh informasi pangan dan stok pangan dari Indonesia. Akses tersebut hanya dapat dicapai bila Indonesia terkoneksi dengan seluruh bangsa dengan mudah tetapi tetap berdaulat sebagai bangsa yang merdeka," kata Syahroni.
Mampukah Indonesia bergerak menuju lumbung pangan dunia pada 2045? Tugas kita semua mewujudkannya sehingga kelak waktu yang akan menjawabnya.***
Sumber : https://www.kompasiana.com/destika_cahyana/5ce188696b07c5228a7cbea2/indonesia-menuju-lumbung-pangan-dunia-2045?page=all